Terkait BLT DBHCT, ALARM Sumenep Tuntut Dinsos dan Kepala Desa Bertanggung Jawab

SUMENEP- Aliansi Pemuda Reformasi Melawan (ALARM) Sumenep kembali memprotes tindakan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Sumenep yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang bersama kepala Desa Padangdangan, Kecamatan Pasongsongan. Protes ini muncul menyusul keputusan penolakan Bantuan Langsung Tunai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (BLT DBHCHT) oleh kepala desa yang disetujui oleh Dinsos.

Aktivis ALARM, Mohammad Nor, dalam audiensi yang diadakan Rabu (4/9/2024), menekankan bahwa keputusan ini bertentangan dengan aturan yang berlaku. “Kepala desa yang menolak masyarakatnya untuk mendapatkan bantuan saya anggap telah melakukan kejahatan. Dinsos yang menyetujui surat penolakan ini juga ikut melanggar aturan. Tidak ada regulasi yang mengatur penolakan semacam ini,” ujarnya saat berdebat dengan perwakilan Dinsos, termasuk Kepala Dinsos, Kabid Linjamsos, dan Kabid Resos.

Menurut Nor, penerima bantuan sudah melalui proses verifikasi oleh Dinas Pertanian dan Dinas Ketenagakerjaan. Mereka yang berhak mendapatkan bantuan adalah buruh tani tembakau dan buruh pabrik rokok yang memenuhi syarat. Namun, kepala Desa Padangdangan dan Dinsos justru menolak usulan tersebut tanpa dasar hukum yang jelas. Nor menambahkan bahwa tindakan ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.

“Kami di sini untuk meminta pertanggungjawaban atas tindakan tersebut. Baik kepala Desa Padangdangan maupun Dinsos harus memberikan penjelasan mengapa bantuan tersebut ditolak,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial (Kabid Linjamsos), Erwien Hendra, menjelaskan bahwa program Bantuan BLT DBHCHT ini melibatkan 3.150 penerima dengan total anggaran Rp 2,9 miliar untuk 26 desa. Setiap penerima mendapat bantuan sebesar Rp900.000.

Erwien membenarkan adanya penolakan dari pihak desa. “Kepala Desa Padangdangan menyatakan bahwa penerima bantuan di desa tersebut tidak sesuai dengan usulan yang diajukan oleh pemerintah desa dan dianggap tidak tepat sasaran,” jelasnya.

Lebih lanjut, Erwien menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, jika kepala desa tidak menyetujui penerima, proses penyaluran bantuan menjadi terkendala, karena diperlukan surat kuasa yang ditandatangani oleh kepala desa.

Kejadian ini, menurut Erwien, bukan yang pertama kali. Pada tahun sebelumnya, kasus serupa terjadi di desa lain ketika penerima bantuan bukan berasal dari usulan desa, dan kepala desa juga menolaknya.

Meski begitu, ALARM menegaskan bahwa kasus ini harus segera diselesaikan dan meminta adanya transparansi serta tanggung jawab dari pihak-pihak terkait agar bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat yang membutuhkan tidak terhambat oleh kepentingan sepihak. (sdm)