PSU Digelar, KPU Sumenep Dinilai Terburuk Sepanjang Sejarah Pilkada
Trending
Terasindo.co.id – Setelah empat hari tiga malam bergelut dengan hiruk-pikuk Ibukota (26-29/07/22), saya melipir ke Yogyakarta untuk merampungkan satu, dua, dan tiga hal lainnya, selain untuk sekedar healing-healing biasa tentu saja. Rencananya, saya di sini sampai tanggal 06-07 Agustus. Tapi namanya juga rencana, sewaktu-waktu bisa berubah seiring perubahan situasi dan kondisi yang kian tak menentu.
Dari daerah yang (katanya) istimewa ini, saya menyaksikan kondisi terkini Rubaru, lebih sempit lagi Tambaksari, desa kelahiran yang kurang lebih sudah seminggu lamanya saya tinggalkan. Di banyak status WhatsApp kawan-kawan kampung dan beberapa percakapan di WAG, berseliweran video kedatangan jamaah haji dari tanah suci Makkah, di tempat saya. Saya pribadi mengucapkan selamat datang kepada mereka. Semoga ibadah hajinya mabrur (diterima).
Di kampung saya, sebagaimana daerah-daerah lain di Madura, selalu ada euforia mengiringi kedatangan jamaah haji. Euforia dimaksud biasanya diekspresikan dalam bentuk konvoi. Dalam KBBI, konvoi mempunyai definisi ganda; pertama, konvoi adalah iring-iringan mobil (kapal) dengan pengawalan bersenjata. Kedua, iring-iringan kendaraan (dalam suatu perjalanan bersama).
Pendek kata, konvoi adalah iring-iringan kendaraan bermotor yang berjalan secara bersamaan dari satu titik menuju satu titik (tujuan) yang sama. Biasanya, kendaraan bermotor yang melakukan konvoi mendapat pengawalan khusus dari pihak kepolisian. Mungkin definisi inilah yang paling tepat untuk menggambarkan konvoi kedatangan jamaah haji yang saya maksud.
Puluhan bahkan ratusan kendaraan bermotor berangkat dari pusat kota, berjalan beriring-iringan di belakang kendaraan (mobil) yang ditumpangi si jamaah haji sampai ke kediamannya. Iring-iringan itu membentuk saf ke belakang, tetapi juga bisa menyamping dari bahu jalan sebelah kiri sampai sebelah kanan. Demikian pemandangan yang saya saksikan di linimasa WhatsApp.
Sebagai tambahan informasi, tradisi konvoi di tempat saya sebetulnya tidak hanya terjadi pada penyambutan kedatangan jamaah haji, tapi juga pada penyambutan seorang penceramah atau kiai yang datang untuk memberi ceramah di suatu tempat (pangajiyen orang Rubaru bilang). Di kampung, acara yang lebih sering mengundang penceramah/kiai adalah resepsi pernikahan dan tasyakuran kelulusan sekolah (imtihan).
Dengan pola yang hampir sama dengan konvoi kedatangan jamaah haji, konvoi atas kedatangan kiai juga tak kalah mengundang euforia orang-orang yang seperti sedang mencari jati diri. Baik dalam konvoi atas kedatangan jamaah haji maupun kiai, sama-sama menggunakan motor yang sudah dimodifikasi knalpotnya. Dalam kaitan ini, produk industri perusahaan otomotif Jepang sepertinya belum sepenuhnya mendapat tempat dalam pikiran kolektif konsumen kelas bawah, seperti mereka.
Beberapa saat sebelum konvoi dimulai, anak-anak muda, sebagian kecil golongan tua di kampung saya biasanya mengganti knalpot motornya dengan knalpot racing, tidar, atau apalah yang ingin Anda sebut. Tujuannya sederhana, agar motor yang digunakan untuk konvoi bisa menghasilkan bunyi nyaring. Semakin banyak knalpot yang berbunyi nyaring, semakin bising dan riuh suasana konvoi di jalan raya.
Saya tidak ingin berspekulasi terlalu jauh. Tulisan ini juga bukanlah hasil riset etnografis yang serius terhadap individu atau kelompok sebagai aktor di balik suksesi konvoi. Tetapi berdasarkan pengalaman empiris, begitulah kira-kira aroma yang saya cium di lapangan; kebisingan adalah suasana yang paling diharapkan oleh para pelaku konvoi, tanpa memperhitungkan dampak sosialnya yang sangat bisa jadi muncul kemudian.
Pada porsi ini, kedatangan jamaah haji maupun seorang penceramah atau kiai identik dengan kebisingan. Seolah ada kepuasan batin tersendiri bagi para aktor konvoi jika berhasil menggeber knalpot bisingnya di sepanjang jalan. Kepuasan batin itu makin menjadi-jadi setelah mendapat semacam “apresiasi” dari para penonton yang menonton jalannya konvoi di bahu-bahu jalan.
Fenomena konvoi ini, meminjam Lorenz Von Stein sosiolog asal Jerman, semacam social movement (gerakan sosial) yang bertujuan untuk melakukan reorganisasi sosial, baik yang diorganisir secara rapi maupun secara cair dan informal. Konvoi sebagai gerakan sosial muncul karena diorganisir (biasanya oleh tuan rumah), tetapi ada kalanya bersifat cair dan informal. Lapisan kelompok terakhir ini semacam partisipan. Partisipan didorong oleh kesadaran subjektif untuk masuk (bergabung) ke dalam kelompok terorganisir guna meraih satu tujuan yang sama; konvoi.
Konvoi merupakan salah satu gerakan sosial di kampung yang masih menyisakan sederet pertanyaan di benak saya, dari dulu hingga sekarang. Saya tidak tahu persis apa sebetulnya motif di balik gerakan ini. Secara sosiologis, konvoi juga tidak tersekat oleh kelas sosial-ekonomi karena pada kenyataannya, baik si kaya dan si miskin, berbondong-bondong turun ke jalan melakukan iring-iringan menggunakan sepeda motor.
Tapi ada satu dimensi yang perlu diperjelas lagi dalam konteks konvoi kedatangan jamaah haji dan kiai, ialah kemungkinan munculnya unsur religiusitas. Konvoi dalam dua bentuk di atas bertalian-atau setidaknya berdekatan posisinya-dengan doktrin syariat Islam. Kita tahu, ibadah haji merupakan satu dari lima rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh umat Islam (yang berkemampuan). Sedangkan pangajiyen, merupakan bentuk internalisasi anjuran dakwah islamiyyah.
Konvoi yang dilakukan atas dua objek (konvoi) di atas yang masing-masing merupakan bagian dari ajaran agama, sepintas menunjukkan adanya perjuangan moral-etik serta nilai-nilai luhur agama di balik iring-iringan kendaraan bermotor di jalan raya. Tapi benarkah konvoi merupakan cara manusia Madura untuk memuliakan tamu-tamu Allah yang baru datang dari tanah suci-Nya? Serta, apakah ia merupakan bentuk penghormatan kepada para alim-ulama sebagai pewaris para Nabi-Nya?
Sekali lagi, saya tidak ingin berspekulasi terlalu jauh. Terlalu panjang dan serius jawaban dari dua pertanyaan di atas untuk saya utarakan dalam tulisan pendek nan sederhana ini. Dan dibutuhkan riset etnografis yang mendalam untuk bisa menjawab dua pertanyaan itu.
Kalau pun mau dipaksakan fenomena konvoi mengemban misi religiusitas, bukankah justru merupakan bentuk distorsi terhadap nilai-nilai luhur agama Islam yang mencita-citakan kemaslahatan sosial. Islam agama yang rasional. Realistis. Kebenarannya bersifat absolut. Kemaslahatannya adalah pasti. Dan kemaslahatan itu harus terwujud dalam realitas.
Memuliakan tamu-tamu Allah adalah meneladani pesan-pesan suci sebagaimana Rasulullah ajarkan, bukan justru menabur “duri” di ruas-ruas jalan. Dan menghormati para alim-ulama adalah menanamkan pesan-pesan dakwahnya di setiap denyut nadi kehidupan, bukan justru merampas hak-hak kenyamanan orang-orang sekitar.
Sebagaimana Anda, saya manusia biasa yang bisa bereuforia. Saya tidak anti modernitas, kemajuan, apalagi sekedar hiburan yang setiap orang bisa dengan mudah melakukannya. Saya manusia yang butuh menghibur diri dan banyak orang lain, tetapi dengan cara-cara yang rasional. Tapi saya menolak keras euforia yang tidak proporsional dan rasional, serta tidak memperhitungkan kemungkinan mudarat dan maslahatnya.
Prinsip hidup saya; melangkah dan berbuatlah sesuka hati Anda, selagi bermanfaat bagi diri Anda dan sebanyak mungkin orang lainnya. Salam !
Oleh: Moh. Rasyid
Tukang Angkat Kopi di Komunitas Ghai’ Bintang
(sultan)