PSU Digelar, KPU Sumenep Dinilai Terburuk Sepanjang Sejarah Pilkada
Trending
terasindo.co.id – Setiap daerah di Indonesia punya terminologi atau istilah sendiri tentang resepsi pernikahan. Beberapa daerah di Jawa bagian tengah ke timur, misalnya, punya istilah “gawe”, sebagian lainnya “hajatan”. Secara umum, “gawe” dan “hajatan” pernikahan berarti resepsi pernikahan. Dua istilah ini biasanya mereka gunakan ketika ada sanak saudaranya melangsungkan pernikahan; nduwe gawe (punya gawe atau hajatan).
Di Madura sendiri juga ada istilah yang sangat beragam. Bahkan, sependek pengetahuan saya, dari empat kabupaten yang ada di Madura saja punya istilah masing-masing yang berbeda terkait resepsi pernikahan. Bangkalan dan sebagian kecil daerah Sampang, punya istilah “parloh”. Saya tidak cukup tahu istilah di Pamekasan, karena saya sendiri tidak punya pengalaman antropologis di sana. Tapi yang jelas, keragaman istilah pasti juga ada di Pamekasan.
Sumenep juga punya istilah yang tak kalah beragam. Bahkan, di Sumenep, keragaman istilah terjadi di hampir setiap desa atau kecamatan. Di tempat saya, Tambaksari, Rubaru, ada istilah yang namanya “karjheh”. Saya tidak tahu persis apakah istilah ini dikenal di luar tempat saya di Sumenep. Yang pasti, “karjheh” lebih familiar dan dikenal oleh sebagian besar masyarakat di tempat saya. Ini semua menunjukkan kearifan lokal masyarakat Madura.
Saya termasuk tipe orang yang mudah bergaul, adaptif, atau sosialis kata anak-anak pelajar sekarang. Setiap pulang ke kampung halaman, sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk berkumpul bersama orang-orang yang umurnya dua-tiga kali lipat di atas saya, selain tentu saja bersama keluarga besar inti. Ngobrol bersama orang-orang tua asyik. Dengan bahasa yang apa adanya, tak jarang mereka mengeluarkan perumpamaan-perumpaan yang kaya dengan filosofi.
Bersama mereka, saya punya pengalaman menarik tentang karjheh. Di sebuah perkumpulan, salah seorang tetangga saya yang umurnya lebih tua berseloroh; “Karjheh rea artenah a karkar ka se rajheh”. Terjemahan bebasnya kira-kira begini; “Karjheh itu artinya menghabiskan sesuatu atau barang-barang yang besar”. Sebuah definisi yang sangat filosofis, dan menarik dicerna.
Kalau dicerna pelan-pelan, ungkapan tetangga saya itu ada benarnya, meski tidak berlaku general. Karjheh atau resepsi pernikahan bagi (sebagian besar) orang Madura ibarat pesta besar, karena itu harus digelar besar-besaran. Megah-megahan, mewah-mewahan. Karjheh yang semula hanya berupa tasyakuran kecil-kecilan dan sederhana atas pernikahan, kini berubah jadi ajang mengumbar material.
Wajar sekali, kalau orang-orang yang a karjheh harus mengeluarkan puluhan bahkan ratusan juta uang sebagai modal pernikahan sanak familinya. Nominal akan terus bertambah tinggi, sesuai kemegahan acara karjheh-nya. Karjheh yang diselingi dengan hiburan seperti dangdut, karawitan, ludruk dlsb, bisa-bisa menghabiskan dana ratusan juta ke atas.
Tapi kan ada sokongan modal (tompangan) berupa uang dari orang-orang luar?
Betul sekali. Tompangan memang bisa mengganti besaran biaya yang dikeluarkan untuk karjheh. Tapi perlu diingat, akad tompangan itu kan semacam hutang-piutang ke lembaga keuangan, yang mengharuskan pengembalian lebih (bunga). Seorang peminjam harus mengembalikan uang pinjamannya lebih dari nominal pinjaman awal. Besaran nominal tambahan sesuai dengan besarnya nominal pinjaman awal.
Dalam konteks tompangan, orang yang a karjheh (penerima tompangan) harus mengembalikan tompangan kepada pemberi tompangan kapan saja dibutuhkan. Soal kapan waktu dibutuhkannya, pemberi tompangan biasanya memberitahu dengan media undangan yang diselipkan di bungkus rokok. Undangan + rokok. “Kerren” sekali, bukan?
Bahkan, skema tompangan ini, bisa melebihi skema perbankan yang mengharuskan pengembalian lebih. Nominal tompangan yang dikembalikan bisa berkali-kali lipat dari nominal tompangan awal. Ini karena, skema tompangan tidak diuangkan, tapi dikonversi ke dalam bentuk benda atau barang komoditas seperti rokok. Ketika dikonversi berupa barang komoditas, di sinilah inflasi keuangan berlaku.
Barang-barang komoditas mengalami kenaikan harga secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Rokok adalah salah satu komoditas yang rentan mengalami kenaikan harga secara signifikan, terus menerus.
Ilustrasinya begini; pada tahun 2012, si Fulan memberi tompangan kepada si Fulanah berupa rokok Surya satu pack seharga, taruh saja, Rp. 80.000, di tahun itu. Sepuluh tahun berikutnya, tepatnya pada 2022, Fulan meminta pengembalian tompangan sebanding dengan apa yang dikeluarkannya pada 2012. Maka Fulanah harus mengembalikan kepada Fulan satu pack rokok Surya yang harganya sudah mencapai Rp. 200.000, di tahun itu. Artinya, dalam kurun waktu sepuluh tahun, terjadi kenaikan harga sebesar Rp. 120.000, dan Fulanah “terjebak” dalam algoritma inflasi.
Itu hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun. Bagaimana jika sampai dua puluh atau tiga puluh tahun tenggat waktu pengembalian tompangan? Ya, tinggal dihitung saja berapa kali lipat nominal yang harus dikembalikan, sesuai meroketnya inflasi dari tahun ke tahun. Begitulah tompangan, membebani tanggungan hutang dengan pengembalian berkali-kali lipat sesuai arah jarum inflasi.
Tapi kan sudah sama-sama sepakat dengan skema itu? Ya, semua pihak yang terlibat dalam tompangan karjheh memang sudah saling menyepakati. Tapi ini bukan semata-mata soal kesepakatan, melainkan lebih pada kemungkinan adanya problem sosial-ekonomi yang secara kasat mata melanda masyarakat kita, khususnya kelas menengah ke bawah.
Sadar tak sadar, karjheh yang digelar secara megah-megahan sudah menjadi “tradisi” di tengah sebagian besar masyarakat kita. Dalam titik terendah, ada kecenderungan masyarakat kita “jung ejjungan” (sok-sokan) berkompetisi a karjheh secara besar-besaran, megah-megahan. Bahwa barang siapa yang tidak a karjheh secara megah, dinilai “tak kapra” dengan tetangga, atau mengabaikan tradisi, yang sebetulnya tidak sehat.
Masyarakat kita hari ini sepertinya sedang mengadopsi logika masyarakat industri; ketika tingkat konsumsi seseorang semakin tinggi, maka semakin tinggi pula status sosial dan kepemilikan sumber kapitalnya. Demikian dengan karjheh; ketika karjheh digelar semakin megah, maka (dianggap) semakin megah pula tatanan ekonomi keluarganya.
Demi bisa a karjheh secara megah untuk unjuk identitas sosial, masyarakat kita melakukan berbagai cara. Orang-orang kaya akan terus mengumpulkan kapital sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan karjheh. Sedangkan orang-orang yang miskin, terus menambah deret daftar hutang yang jumlahnya bisa jadi tidak setara dengan kondisi ekonominya. Pada titik ini, problem sosial-ekonomi kelas menengah ke bawah jadi makin tak karuan.
Di masa depan, kita tak ingin mewariskan hutang kepada anak cucu kita demi “kebahagiaan” sesaat. A karjheh secara megah boleh Anda anggap sebagai prestise sosial yang mendatangkan kebahagiaan secara instan, saat dan untuk saat itu juga. Tapi mewariskan hutang karena karjheh, hanya akan menjadi beban anak cucu yang berkepanjangan. Bagi kelompok miskin, alih-alih bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi rumah tangga anak cucunya, adanya Karjheh barangkali lebih merupakan nestapa sosial.
Benar belaka kata tetangga saya; karjheh, a karkar ka se rajheh. Mari a karjheh dengan akal sehat !
*Tulisan ini ditulis sambil menikmati kopi hitam bikinan Ibuk sebelum berangkat ke Karjheh tetangga desa.
Tambaksari, 16 Juli 2022.
Oleh: Moh. Rasyid
Tukang Angkat Kopi di Komunitas Ghai’ Bintang
(sultan)