Peluncuran Buku ‘Anak Desa Menulis’ Dorong Peningkatan Literasi di Kecamatan Rubaru
Trending
Jika kembali pada memori tahun 1965, Indonesia pernah mengalami inflasi yang parah mencapai angka 592%. Dewasa ini, sudah sangat wajar jika inflasi disebut sebagai wabah penyakit penurunan ekonomi yang kian meradang, tak kalah gawat dengan Covid-19 yang memakan banyak korban.
Indeks perputaran ekonomi mencatat, sejak diberlakukannya kebijakan pemerintah yang dipengaruhi oleh pandemi, jumlah konsumsi Rumah Tangga (RT) dan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) berkurang, padahal kedua konsumsi ini sangat memberi pengaruh atas kontraksi pada Produk Domestik Bruto (PDB). Wabah Covid-19 ini bukan sekadar penyakit yang mempengaruhi kesehatan, namun juga dampak secara ekonomi, karena ketika semakin banyak pekerja yang terinfeksi maka semakin banyak pula biaya untuk perawatan dan juga biaya produksi yang ditanggung oleh negara.
Mengutip dari bisnis Indonesia, selain pandemi Covid-19, invasi Rusia ke Ukraina turut membuat harga-harga pangan dan energi dunia melonjak. Lonjakan harga tersebut yang memicu inflasi di banyak negara.
Itulah yang dimaksud dengan Inflademic menurut Iman Sugema di Harian Republika, adalah Masyarakat di segala penjuru dunia menggigil didera inflasi.
Kebijakan tersebut tentu membawa pola kehidupan baru pada generasi Z dan Alpha, atau generasi muda usia pertengahan dan awal 20-an. Dampak penurunan kualitas ekonomi bagai jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan pola hidup orang-orangnya yang cenderung konsumtif.
Setelah terbiasa bergelut dengan dunia idealisme dan kebutuhan yang terus dipenuhi oleh orang tua mereka, tekanan sosial memaksa mereka untuk terjun langsung memenuhi kebutuhan diri sendiri yang sangat kompleks dengan bekal pengetahuan yang hanya bersifat teoritis dan pengalaman yang minimalis dari sekolah dan perguruan tinggi masing-masing. Masa depan yang tak pasti menimbulkan gelisah psikologis (Quarter Life Crisis) pada usia pertengahan dewasa.
Realitas Sosial
Menurut (Fischer, 2008) Quarter life crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an.
Sedangkan bagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang, dilihat dari aspek manajemen keuangan, kemampuan generasi Z dan Alpha justru cenderung ‘payah’ dan boros sebab dipengaruhi beberapa faktor. Diantaranya akses internet yang terbuka luas menyuguhkan e-commerce lintas kota, provinsi dan negara, memberikan stimulus keinginan yang beragam dan ‘banyak mau’ sehingga minim ketertarikan terhadap investasi masa depan.
Dilansir dari Republika.co.id, Indonesia dengan penduduk 270 juta jiwa lebih didominasi oleh usia produktif yang harus diberdayakan untuk memperkokoh ekonomi bangsa. Ini mengingat sekitar 69,38 juta jiwa atau setara 25,87 persen merupakan generasi milenial dengan periode tahun lahir antara 1981-1996. Selain itu, sekitar 74,93 juta jiwa atau sekitar 27,94 persen adalah generasi Gen Z yang lahir pada periode 1997-2012. Oleh karena itu, bagi generasi muda tersebut perlu pengelolaan keuangan cerdas sebagai strategi mewujudkan ketangguhan finansial.
Dari segi psikologis, sudah menjadi kebiasaan umum bagi anak-anak muda untuk menyuarakan keluh kesahnya lewat jejaring media sosial mulai dari tekanan sosial, tugas mata kuliah yang datang silih berganti, dan problem personal yang memainkan emosional. Beberapa fase pencarian jati diri tersebut merupakan hal yang lumrah bagi setiap individu, perbedaannya adalah kondisi eksternal dan internal yang mempengaruhi.
Banyaknya tekanan tersebut memberikan dampak yang menggerus mental health sehingga generasi kreatif memiliki sisi lain yaitu rapuh dalam hal kepercayaan diri. Penggunaan teknologi sejak masa kanak-kanak membuat daya tarik mereka terhadap interaksi sosial menjadi minim dan secara natural lebih nyaman menggeluti dunia maya.
Krusial sekali jika kekhawatiran terus mendera namun tidak ada aksi nyata untuk keluar dari kebiasaan ‘manja’. Telaah terhadap role model yang salah karena paparan media sosial yang menampilkan kehidupan hedonis dan tak menampik terbentuknya krisis emosional generasi Z dan Alpha. Tidak hanya di Indonesia secara khusus. Secara global, inflasi memberikan dampak yang tarik menarik dengan generasi Z dan Alpha, sebab mereka adalah pelaku yang juga menyumbangkan inflasi sebagai dampak perilaku konsumtif dan hedonisme mereka.
Generasi Tulang Lunak
Generasi sandwich, sebutan yang beberapa waktu lalu populer di jagat maya. Sebutan ini dicetuskan pertama kali oleh Dorothy Miller pada 1981. Istilah yang merujuk pada keadaan di mana generasi paruh baya dihadapkan pada tuntutan untuk mendukung orang tuanya sekaligus membesarkan anak-anak mereka, namun tidak menerima dukungan timbal balik sebagai gantinya. Keadaan ‘terjepit’ dalam situasi rumit tersebut diibaratkan lipatan sandwich yang tersusun antara roti, daging, sayur dan lainnya.
Namun tak hanya khusus pada usia paruh baya, generasi Z mulai diresahkan dengan kondisi dan problem yang serupa dan lebih kompleks. Perbedaannya, kondisi ‘terjepit’ pada generasi ini lebih pada keadaan di mana ia punya tanggung jawab pribadi antara mencukupi kehidupan dengan fakta sosial yang lebih praktis atau mempertahankan idealismenya yang cenderung teoritis.
Istilah lainnya yang tepat menggambarkan generasi ini adalah ‘generasi strawberry’, suatu keadaan di mana seseorang memiliki potensi dan kreativitas yang cemerlang namun mudah rapuh oleh tekanan atau minimnya usaha untuk mengasah potensi tersebut. Sehingga beberapa faktor yang berkesinambungan itulah membentuk kecemasan berlebihan tentang masa depan (Quarter life crisis).
Nampaknya ini linear jika dikorelasikan dengan adagium “Manusia berubah sesuai tekanan” meskipun konteksnya lebih pada hal yang bersifat merugikan karena berakibat pada mandegnya produktivitas.
Revolusi mental yang kian menurun menyalah artikan self-healing sebagai pelarian dari bosannya aktivitas sehari-hari dan tekanan kewajiban sosial yang sejatinya hanya butuh relaksasi, padahal self-healing sejatinya adalah proses penyembuhan serius untuk menyembuhkan diri dari luka batin, depresi atau stres berat yang salah satu gejalanya ditandai PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
Oleh: Aliya
Mahasiswi Institut Sains dan Teknologi (IST) Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep.