Migas yang Mengalir, Manfaat yang Menguap

Regional :

Oleh: Fauzi As
PT Kangean Energy Indonesia (KEI) akhirnya angkat suara. Setelah sekian lama membiarkan suara rakyat mengambang di laut bersama bau minyak dan nasib nelayan yang karam, kini KEI bicara.

Dan seperti biasa, yang mereka bawa bukan solusi, melainkan selembar skrip formal yang penuh jargon: “sesuai regulasi”, “diawasi ketat”, “bermanfaat bagi masyarakat”.

Rabu 25 Juni melalui radarmadura, Kalimat-kalimat mantra sakti dalam dunia migas ini dibacakan. Ia seperti sapu terbang yang bisa membawa perusahaan kemana saja tanpa pernah menyentuh tanah rakyat.

Ketika warga desa Pagerungan Besar mengeluh tentang kerusakan ekologi, laut yang kehilangan ikan, air tanah yang mulai tercemar jawabannya selalu sama: “Itu fitnah, kami sesuai regulasi.”

KEI menyebut diri mereka sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) resmi, ditunjuk langsung oleh Pemerintah Indonesia.

Hebat. Lalu apakah rakyat Sumenep juga merasa ditunjuk?

Apakah nelayan Kangean selalu diajak rapat sebelum wilayah tangkap mereka dibelah oleh operasi seismik dan kapal-kapal survei bawah laut?

Yang menarik, KEI mengklaim bahwa seluruh operasional mereka “diawasi ketat oleh pemerintah, pemangku kepentingan nasional dan daerah, serta rutin dimonitor oleh instansi dan perguruan tinggi kredibel.” Ya, pemangku kepentingan yang menganggap rakyat hanya bagian kepentingan lima tahunan.

Kami mengucapkan selamat datang kepada para akademisi yang bisa mendengar denyut tanah dari ruang AC.

Tapi sayang, tanah yang retak tidak bisa diperiksa lewat slide presentasi.

Ekosistem rusak tidak bisa dikembalikan dengan paper berindeks Scopus. Karena masyarakat di lapangan tidak hidup dari kutipan ilmiah, mereka hidup dari tanah dan laut yang kini dijaga pagar besi dan kamera sensor.

Lalu soal PPM, “Program Pengembangan Masyarakat.” KEI menyebut sudah melibatkan masyarakat.

Benar, beberapa warga memang terlibat. Ada yang jadi pekerja harian borongan, ada yang dikasih spanduk, ada yang dapat bantuan ember dan kursi plastik saat musim sosialisasi.

Tapi mari kita bertanya jujur: di mana manfaat jangka panjangnya?

Apakah ada air bersih yang mengalir ke rumah warga?

Apakah ada listrik gratis dari gas yang mereka sedot?

Apakah anak-anak kami bisa sekolah dari beasiswa perusahaan?

Atau yang terjadi justru sebaliknya: gas mengalir ke Jawa, tapi listrik kami masih mati redup.

Apakah ini yang dimaksud “manfaat nyata”?

Apakah manfaat itu bisa diseduh bersama kopi pahit di pagi hari oleh nelayan Pagerungan yang harus melaut lebih jauh karena jalur migrasi ikan rusak?

Apakah manfaat itu terasa oleh ibu-ibu yang harus menimba air dari sumur dangkal karena pipa air bersih belum juga terpasang?

Pernyataan KEI yang menyebut semua kritik sebagai fitnah, justru menunjukkan betapa miskinnya empati di balik kemewahan proyek.

Kritik itu bukan fitnah. Itu jeritan. Itu laporan lapangan dari orang-orang yang tak lagi bisa menanam padi karena tanahnya jadi keras dan asin.

Itu cerita anak muda yang tidak bisa kerja di proyek migas karena rekrutmen mungkin lewat “jalur khusus”. Itu kesaksian guru yang meminta bantuan operasional tapi malah disodori proposal CSR.

Kita tidak anti investasi. Kita tidak anti pembangunan. Tapi kita muak dijadikan ladang eksploitasi yang dibungkus CSR dan seminar.

Gas bumi ini milik bersama. Tapi mengapa hanya segelintir yang mendapat manfaat?

Yang lebih menyedihkan lagi, narasi seperti ini selalu mendapat panggung di media. “Semua sesuai aturan,” begitu katanya.

Tentu saja. Karena aturan itu disusun oleh orang-orang yang tak pernah tahu seperti apa tidur dengan atap bocor, atau melaut dengan perahu kayu yang harus bersaing dengan kapal logistik migas.

Aturan itu lahir di ruang rapat, bukan di atas tanah yang diinjak masyarakat.

Kangean tidak butuh janji manis atau kalimat pembelaan. Kangean butuh keadilan. Kalau KEI merasa difitnah, silakan buka ruang dialog terbuka.

Hadir di depan rakyat, bukan hanya di depan wartawan. Tunjukkan bukti bahwa manfaatnya nyata, bukan hanya dalam laporan tahunan.

Kita tidak anti pada produksi nasional. Tapi jangan jadikan nasionalisme sebagai alasan untuk menginjak yang lokal.

Kalau benar KEI diawasi ketat, mari kita tanya: siapa yang mengawasi pengawasan itu?

Siapa yang menjaga agar tidak terjadi kompromi antara pengusaha dan birokrat yang bisa mencium aroma uang dari ladang gas?

Di atas kertas, KEI adalah mitra strategis negara. Di lapangan, KEI adalah tetangga yang kaya tapi pelit. Gas mereka kirim ke pusat, tapi jalan kampung masih becek dan berdebu.

Jika itu disebut sinergi, maka kami menyebutnya ketimpangan yang dirayakan.