
Trending
Oleh: Aziz Muslim Haruna – Pemerhati Kebijakan Publik dan Tata Kelola Desa
Pilkades atau Pemilihan Kepala Desa bukanlah sekadar ritual administratif delapan tahunan. Ia adalah napas demokrasi di tingkat akar rumput. Di sinilah demokrasi menemukan bentuknya yang paling otentik—dekat dengan rakyat, membumi, dan langsung menyentuh kehidupan sehari-hari warga. Maka dari itu, Pilkades bukan hanya soal memilih pemimpin desa, tetapi soal merawat partisipasi, menguatkan kohesi sosial, dan membangun kesadaran kolektif warga desa terhadap masa depan mereka.
Namun demokrasi, sebagaimana kita pahami, bukan hanya soal prosedur dan waktu. Ia membutuhkan prasyarat-prasyarat yang kuat: kesiapan anggaran, suasana sosial yang stabil, serta ekosistem politik yang sehat dan rasional. Jika salah satu dari elemen tersebut absen, maka demokrasi bisa berubah menjadi konflik. Bukan menguatkan desa, tapi justru merusaknya dari dalam.
Di Kabupaten kabupaten sampang, pemerintah daerah atas dasar surat keputusan bupati nomor 188.45/272/KEP434.013/2021 berencana menggelar Pilkades serentak untuk 143 desa dalam waktu dekat. Tentu niat ini lahir dari komitmen menjalankan amanat demokrasi desa. Namun niat baik saja tidak cukup. Kita perlu bertanya secara kritis: apakah semua syarat dan kondisi telah benar-benar siap?
Alokasi anggaran yang disiapkan—sekitar Rp23 miliar untuk 143 desa—terlihat besar di atas kertas. Tapi jika dihitung per desa, hanya sekitar Rp160 juta. Dalam praktiknya, biaya Pilkades sangat bergantung pada variabel jumlah pemilih, letak geografis, tingkat kerawanan keamanan, dan banyaknya tempat pemungutan suara (TPS). Banyak daerah lain yang membuktikan bahwa dana sebesar itu kerap kali jauh dari cukup. Akibatnya? Tahapan penting dipangkas, logistik menjadi ala kadarnya, dan panitia di tingkat desa bekerja dalam tekanan.
Celakanya, jika pelaksanaan Pilkades dipaksakan dengan anggaran yang tidak memadai, maka integritas proses pemilihan rentan tercederai. Peluang penyimpangan membesar, akuntabilitas menyusut. Dan yang paling berbahaya: masyarakat kehilangan kepercayaan pada proses demokrasi itu sendiri.
Namun bukan hanya soal uang. Yang tak kalah krusial adalah suasana sosial politik pasca-Pilkada yang belum pulih. Dalam banyak desa, hasil Pilkada di tingkat kabupaten memicu polarisasi yang dalam. Masyarakat terbelah dalam kelompok-kelompok loyalis yang tidak lagi berbasis program atau visi, tapi berbasis identitas dan afiliasi politik sempit. Ketegangan itu menjalar ke kehidupan sehari-hari, merusak relasi sosial di tingkat RT bahkan keluarga.
Saat wacana pencalonan kepala desa mulai mengemuka, ketegangan tersebut kembali memuncak. Tak sedikit calon yang justru menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan politik tingkat atas. Akibatnya, Pilkades kehilangan independensinya. Ia berubah menjadi medan lanjutan pertarungan Pilkada, bukan lagi ruang demokrasi murni warga desa.
Sebagian pihak mungkin menganggap penundaan Pilkades sebagai bentuk kemunduran demokrasi. Namun narasi ini perlu dikritisi. Demokrasi yang sehat bukan sekadar berjalan sesuai kalender, tapi sesuai dengan kesiapan dan kondisi nyata masyarakat. Menunda bukan berarti membatalkan. Justru, menunda dalam kondisi yang belum ideal adalah bukti bahwa kita serius menjaga kualitas demokrasi.
Penundaan adalah bentuk tanggung jawab. Ini adalah cara kita menjaga agar Pilkades tetap menjadi ruang yang jujur, adil, aman, dan damai. Kita tidak ingin demokrasi desa dirusak oleh ambisi politik, dana yang tak mencukupi, atau konflik horizontal yang berujung kekerasan.
Landasan hukum penundaan pun jelas. Permendagri No. 112 Tahun 2014 Pasal 34 ayat (2) memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk menunda Pilkades jika ada gangguan keamanan atau kondisi lain yang bisa mengganggu kelancaran proses. Mahkamah Agung pun mengafirmasi ini lewat Putusan No. 91 P/HUM/2015—bahwa kepala daerah memiliki ruang diskresi demi menjaga ketertiban umum.
Namun penundaan ini tidak diartikan sebagai bentuk pasif atau menghindari masalah. Sebaliknya, ini harus dijadikan momentum untuk memperbaiki segala hal yang belum tuntas. Pemerintah daerah bisa menggunakan jeda waktu ini untuk menata ulang mekaniseme anggaran, menyusun skema logistik yang efisien, serta memastikan panitia penyelenggara bekerja secara professional dan independen. Di saat yang sama, pendekatan social budaya yang harus dilakukan. Forum warga, dialoh lintas tokoh desa, dan edukasi politik warga bisa menjadi strategi rekonsiliasi yang konkret.
Penting juga untuk memastikan bahwa penundaan ini disosialisasikan secara luas dan terbuka kepada masyarakat. Komunikasi yang jelas, terbuka, dan berkelanjutan dari pemerintah daerah sangat dibutuhkan agar warga memahami bahwa penundaan ini bukan bentuk pembatalan, melainkan penataan ulang demi kualitas demokrasi desa yang lebih baik.
Langkah lain yang tidak boleh dilupakan adalah memperkuat kelembagaan ditingkat desa. Banyak panitia pilkades selama ini belum mendapatkan pelatihan yang memadai, padahal mereka memegang peran krusial dalam menentukan sukses tidaknya pemilihan kepala desa. Dalam masa penundaan ini, pelatihan intensif, simulasi teknis, hingga penguatan etika penyelenggaraan pemilu desa menjadi sangat relevan untuk menjadi pertimbangan untuk dilaksanakan.
Kita membutuhkan keberanian dari para pemimpin daerah—bupati, DPRD, hingga jajaran dinas terkait—untuk mengambil sikap yang realistis dan visioner. Jangan terjebak pada ego kelembagaan atau pencitraan politik jangka pendek. Yang sedang dipertaruhkan bukan hanya suksesnya satu hajatan demokrasi, tapi masa depan desa-desa kita.
Tunda sejenak, rapikan persiapan, pastikan anggaran mencukupi, dan pulihkan relasi sosial. Baru setelah itu, kita laksanakan Pilkades dengan penuh percaya diri dan integritas. Biarkan proses ini menjadi contoh demokrasi lokal yang matang, bukan demokrasi yang dipaksakan.
Karena pada akhirnya, demokrasi bukan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Demokrasi adalah tentang memastikan bahwa proses berjalan adil, warga merasa didengar, dan hasilnya membawa kedamaian serta kemajuan bagi semua.