Peluncuran Buku ‘Anak Desa Menulis’ Dorong Peningkatan Literasi di Kecamatan Rubaru
Trending
SUMENEP, terasindo.co.id – Dirgahayu Indonesia, sebab katanya sudah 77 tahun bangsa ini bebas dari kungkungan imperialisme dan kolonialisme bangsa asing. Sejarah mencatat secara historis bagaimana arus perjalanan Indonesia dari waktu ke waktu.
Semangat juang para pahlawan terabadikan dalam proklamasi kemerdekaan sekaligus berisi cita-cita bangsa. Pasca kemerdekaan, kemelut arus politik membungkus wajah baru Indonesia muda yang belum utuh terinternalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah negara.
Setelah 77 tahun bendera berkibar, kondisi bangsa masih belum mencapai taraf maksimal. Perhelatan politik setiap periode bagaikan air yang menguap sebab perbaikan yang dijanjikan hanya panas di udara. Parahnya kondisi kritis dan menggigit rakyat kecil, Sang Tuan yang menjadi boneka justru dipaksa dijadikan kelaziman. Hal tersebut tetap dibiarkan menjadi anomali dan dikaburkan dengan euforia perayaan kemerdekaan setiap tahunnya.
Seyogianya setiap pemimpin adalah pahlawan bagi bawahannya, itulah mengapa digelar peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus untuk menghayati hakikat dari perjuangan berdarah-darah yang dilakukan para pahlawan ratusan tahun silam. Lantas mengapa setelah lepas dari kungkungan imperialisme asing bangsa Indonesia justru diombang-ambing oleh elite politik bangsa sendiri.
Namun terlepas dari hal yang demikian, kemajuan bangsa patutlah diapresiasi.
Kemerdekaan Milik Siapa
“Negeri belumlah makmur dan belum menjalankan keadilan sosial, apabila fakir miskin masih berkeliaran di tengah jalan dan anak-anak yang diharapkan akan menjadi tiang masyarakat di masa datang, terlantar hidupnya,” tulis Bung Hatta dalam salah satu bukunya, Ekonomi Terpimpin (1979).
Secara komprehensif kemerdekaan bukan hanya diartikan sebagai kebebasan (freedom), lebih dari itu, kemerdekaan berisi harapan-harapan kemajuan dari berbagai sektor. Kebangkitan bangsa dimulai dari kebebasan masyarakatnya, baik dalam bersosial, beragama, dan berpolitik. Kemerdekaan adalah cita-cita semua orang yang merasa ikut andil dalam mewujudkan kemakmuran bangsanya. Seperti kutipan Bung Hatta tadi, terutama sekali makmur dari segi ekonomi dan pendidikan.
Jika di flashback pada masa pra-kemerdekaan, selain perang fisik, kemerdekaan diraih melalui gerilya semangat nasionalisme para pemuda. Hal ini tercatat dalam historis Indonesia, sejak dibentuknya organisasi Boedi Oetomo yang menjadi inisiator bangkitnya kesadaran pemuda untuk memperjuangkan hak dan menjadi bukti nyata bahwa kemerdekaan berpikir merupakan hal yang sangat fundamental dalam memprakarsai perubahan besar. Kemerdekaan adalah mental dan jiwa yang cinta tanah air yang kemudian diartikulasikan dalam tindakan nyata.
Bung Karno mengatakan bahwa esensi merdeka dapat terpenuhi apabila rakyat bebas dari eksploitasi, baik eksploitasi rakyat oleh rakyat ataupun eksploitasi rakyat oleh negara. Semua orang wajib sejahtera dengan hak masing-masing. Hal tersebut adalah tindakan paling tepat untuk membungkam masyarakat agar tidak tajam mengkritisi pemerintah.
Demokrasi Kita
Bukanlah hal yang dilebih-lebihkan jika secara tatanan kenegaraan kondisi Indonesia bagaikan peribahasa ‘lepas dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya.’ Setelah tumbang masa Orde Lama, rezim Orde Baru mulai menawarkan harapan pada rakyat. Namun, pada praktiknya sistem ini justru cenderung disalahgunakan sehingga menyebabkan banyak krisis dan mengakarnya oligarki.
Memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia berkomitmen untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dengan harapan perbaikan dan besarnya andil rakyat dalam setiap keputusan.
Setelah dua puluh empat tahun masa Reformasi, hal yang nyata dilihat oleh masyarakat adalah tumpukan hutang negara yang semakin membengkak setiap pergantian Presiden berikut isu korupsi yang tak berkesudahan, lemahnya supremasi hukum serta ketimpangan sosial lainnya. Kondisi demikianlah yang acapkali memunculkan kegamangan dalam masyarakat sebagai pelaku utama demokrasi, sebab tidak ada relevansi antara komitmen para elite politik seperti isi kampanye mereka dengan hakikat demokrasi. Bukan lagi pergeseran nilai, namun paradoks demokrasi mulai membentuk persepsi liar tentang kebijakan pemerintah yang menjauhkan rakyat dari hak kekuasaan, keterlibatan politik, dan transparansi sistem.
Nyatanya era millenial tak cukup mengubah warna politik negeri ini. Secara teoritis Indeks Demokrasi Indonesia telah mencapai kata mapan, namun tergerus dalam realita sehingga menjadi demokrasi yang cacat (flawed democracy).
Kebijakan-kebijakan pemerintah masih mengundang banyak kritik masyarakat sebab merasa ambigu dengan dominasi kaum feodal baik yang nyata ataupun yang kasat mata. Politik praktis mengaburkan makna demokrasi dan membuat rakyat sulit membedakannya dengan sistem feodalisme dan otoritarianisme. Kebebasan berpendapat dan mengkritisi sistem justru dibungkam secara perlahan dengan diluncurkannya Undang-Undang terkait. Salah satu isu paling krusial adalah larangan menghina Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini sedang disosialisasikan oleh parlemen. Peretasan media sosial aktivis, serta pembatasan kebebasan berekspresi yang memicu demonstrasi dimana-mana sebab hukum dinilai tajam ke bawah, melindungi pemerintah dan menjelma dinasti politik. Semakin kesini Indonesia dikamuflasekan zaman Orba – hanya saja dengan kemasan yang dipercantik, padahal masa depan demokrasi tergantung kualitas individu dalam memahami substansi demokrasi.
Mewujudkan Indonesia yang merdeka dan berdaulat tidak cukup hanya dengan melihat persentase responden. Seharusnya setiap individu diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi secara nyata apa saja hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Peran pemuda sebagai penyambung lidah masyarakat sangat signifikan, dan akan menjadi salah ketika hak tersebut dibatasi bahkan dimusuhi pemerintah. Persatuan dan kesatuan Indonesia dapat tercapai dengan kesamaan kesadaran memahami kemerdekaan sacara substantif.
Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat. Dirgahayu Indonesia!
Oleh: Aliya
Pegiat Literasi/ Alumni SMA Zainussalim Gadu Barat Ganding