Eksploitasi Energi dan Kemiskinan Lokal: Potret Ketimpangan Migas di Sumenep

SUMENEP – Keberadaan industri minyak dan gas bumi (migas) di Kabupaten Sumenep, Madura, semakin menegaskan paradoks pembangunan daerah. Di tengah operasi delapan perusahaan migas asing di perairan sekitar Sumenep, kemiskinan justru bertahan dan bahkan terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan area eksploitasi energi tersebut.

Faisal Islami, Pemuda Kepulauan Sapeken, menilai kondisi ini sebagai konsekuensi dari lemahnya posisi daerah dalam sistem pengelolaan migas nasional. Menurutnya, secara administratif Sumenep bukan merupakan daerah penghasil migas, sehingga pemerintah kabupaten tidak memiliki kewenangan strategis dalam pengelolaan sumber daya energi yang secara geografis berada di wilayahnya sendiri.

Saat ini, sejumlah perusahaan migas asing tercatat aktif beroperasi di perairan sekitar Sumenep, antara lain Kangean Energy Indonesia (KEI), Santos (Madura) Offshore, Husky-CNOOC Madura Ltd (HCML), Energi Mineral Langgeng (EML), Petrojava North Kangean (PNK), Techwin Energi Madura Ltd, Petronas, dan Husky Anugerah Limited. Namun, besarnya skala industri tersebut tidak berbanding lurus dengan dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat lokal.

Faisal menjelaskan bahwa keterbatasan tersebut tidak lepas dari perubahan regulasi nasional. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan migas dalam radius 12 mil laut dialihkan kepada pemerintah provinsi. Akibatnya, pemerintah kabupaten kehilangan ruang intervensi terhadap sektor strategis yang seharusnya dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi daerah.

“Makanya perusahaan migas tidak bisa menurunkan angka kemiskinan di Sumenep, karena secara administratif wilayah kerja mereka tidak masuk dalam yurisdiksi kabupaten,” ujar Faisal.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya jarak struktural antara lokasi eksploitasi sumber daya alam dan otoritas pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat terdampak. Dalam situasi ini, pemerintah kabupaten praktis hanya menerima dampak turunan dari aktivitas migas, tanpa memiliki kewenangan penuh untuk mengelola manfaat ekonominya secara langsung.

Keterbatasan kelembagaan daerah semakin memperjelas persoalan tersebut. Hingga saat ini, di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sumenep tidak terdapat dinas yang secara khusus menangani sektor kelautan. “Di Pemkab Sumenep sendiri tidak ada dinas kelautan, yang ada hanyalah dinas perikanan,” ungkap Faisal. Fakta ini mencerminkan minimnya instrumen kelembagaan daerah dalam mengawal sektor kelautan dan energi secara komprehensif.

Lebih lanjut, Faisal menilai bahwa pertanyaan publik mengenai kontribusi perusahaan migas terhadap kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang wajar. Ia menegaskan bahwa penurunan angka kemiskinan sebesar 2,4 persen di Kabupaten Sumenep tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan aktivitas industri migas.

Menurutnya, capaian tersebut merupakan akumulasi dari berbagai program pemerintah daerah yang didukung oleh anggaran bernilai miliaran rupiah, bukan hasil signifikan dari penyaluran dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan migas.

“Ironisnya, justru kecamatan yang berdekatan dengan wilayah operasi perusahaan migas menjadi kantong kemiskinan di Sumenep,” katanya.

Fakta tersebut menegaskan bahwa kehadiran industri migas belum mampu menciptakan efek pengganda ekonomi (multiplier effect) yang nyata bagi masyarakat sekitar. Alih-alih menjadi pendorong kesejahteraan, industri migas di Sumenep justru menyisakan ketimpangan antara besarnya nilai ekonomi yang diekstraksi dan kecilnya manfaat yang kembali ke daerah.

Meski data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan, Kabupaten Sumenep hingga kini masih tercatat sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Timur. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai keadilan distribusi manfaat sumber daya alam serta posisi pemerintah daerah dalam sistem pengelolaan migas nasional.

Dalam konteks ini, persoalan yang dihadapi Sumenep tidak semata-mata berkaitan dengan kemiskinan, melainkan juga menyangkut problem kedaulatan daerah atas sumber daya alam yang dieksploitasi di wilayahnya sendiri.

Yuk Share

Berita Lainnya