Antara Karapan, Korban, dan Kepulan Abu: Ketika Panggung Hiburan Menelan Nyawa

Regional :

Oleh: Fauzi As
Saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada seluruh korban dalam insiden robohnya pagar pembatas saat Lomba Karapan Sapi “Pakar Sakera” di Lapangan Giling, Sumenep, Minggu, 22 Juni 2025.

Semoga mereka yang terluka diberi kesembuhan, dan almarhum Sueb (60) diberi tempat terbaik di sisi-Nya.

Namun di balik duka itu, kita juga perlu menyuarakan tanya yang belum dijawab. Mengapa fasilitas publik pemerintah bisa menelan korban?

Dan mengapa, di tengah tragedi, justru ada ambisi untuk mendatangkan Presiden ke lokasi yang sama, demi gelaran seremonial?

Sore itu, di garis finis yang ramai oleh sorak dan debu tanah, sebuah tembok tak kuat menopang semangat massa. Pagar sisi timur roboh. Empat orang tertimpa.

Satu meninggal dunia, tiga luka-luka, masing-masing membawa pulang rasa sakit yang mungkin akan lebih lama sembuh daripada luka fisik, luka akibat abainya tanggung jawab negara atas keselamatan warganya.

Sueb bukan nama dalam film dokumenter. Ia manusia. Ia rakyat. Ia datang bukan untuk berperang, tapi untuk menyaksikan tontonan tradisi karapan sapi yang katanya adalah simbol kebanggaan Madura.

Tapi yang ia dapat bukan hiburan, melainkan tragedi. Ia menghembuskan napas terakhir di rumah sakit daerah milik pemerintah yang sama.

Sebuah ironi dalam satu babak penuh luka. Terluka oleh pagar milik pemda, lalu menghembuskan napas terakhir di RSUD yang dibiayai dari pajaknya sendiri.

Namun belum habis duka, masyarakat dibuat tercengang. Belum genap sehari sejak korban dibawa ke ruang jenazah, kabar beredar bahwa Bupati tetap ngotot melanjutkan rencana akbar.

Mendatangkan Presiden ke Sumenep untuk menyaksikan Karapan Sapi Piala Presiden.

Bukan untuk melihat tragedi, bukan untuk mengunjungi korban, melainkan untuk menyambut adu lari sapi di atas tanah yang baru saja menyerap darah rakyat.

Lalu muncul pertanyaan sederhana tapi penting: Dari mana anggaran karapan ini berasal?

Apakah dari APBD? Apakah dari sponsor? Atau dari sumbangan yang tak terdata?

Rakyat hanya bisa menduga karena sampai kini, tidak ada satu lembar pun rincian anggaran yang dibuka kepada publik. Transparansi seperti tembok pagar itu, lapuk yang akhirnya roboh.

Dan bicara soal flayer yang beredar untuk promosi karapan sapi: satu hal yang menarik adalah simbol asap mengepul di latar belakang logo. Apakah itu simbol semangat? Ataukah tak sengaja menyerupai asap rokok?

Sebab kita tahu, di belakang banyak acara meriah hari ini, ada industri yang menyelipkan “dukungan”. Dan sayangnya, yang menghirup efek sampingnya adalah rakyat kecil yang bahkan tak diberi tempat duduk yang aman.

Pertanyaan rakyat belum dijawab, tapi suara gendang dari saronen sudah ditabuh. Wacana karapan sapi skala nasional akan tetap digelar. Piala Presiden tetap disiapkan.

Seolah duka harus dilipat, lalu disimpan di bawah kursi VIP.

Di sisi lain, aparat mengaku sudah mengidentifikasi korban dan melakukan evakuasi.

Tapi apakah itu cukup? Apa setelah menyebut nama Sueb, Aldi, Sudahnan, dan Ahmad Baidi, lalu semuanya selesai?

Apakah tidak ada evaluasi terhadap struktur lapangan?

Tidak adakah moratorium terhadap kegiatan massal hingga pemerintah daerah benar-benar siap dengan aspek keselamatan?

Atau apakah rakyat hanya layak menjadi latar belakang, menjadi “kerumunan dekoratif” demi foto dan liputan yang akan viral di media sosial?

Yang paling menyakitkan bukan hanya karena pagar roboh. Tapi karena rasa tanggung jawab ikut roboh bersamanya.

Ketika pemerintah daerah lebih sibuk menyiapkan panggung untuk Presiden, ketimbang podium belasungkawa untuk korban.

Ketika konsep hiburan lebih diutamakan daripada keselamatan publik.
Ironis, bukan?

Sebuah daerah yang katanya sedang krisis anggaran, bisa berambisi menggelar karapan sapi skala nasional. Tapi tak mampu memperkuat satu tembok pagar.

Mungkin karena pagar itu tak masuk dalam lembar acara resmi. Tak masuk kamera. Tak masuk selfie.

Kita tidak anti budaya. Kita tidak anti karapan sapi. Tapi kita anti pada pengelolaan yang sembrono, dan politik hiburan yang menelan korban.

Kalau memang Karapan Sapi adalah warisan budaya, maka jadikan ia warisan yang aman, manusiawi, dan tidak berdarah.
Jika tidak, maka ia akan berubah jadi tontonan berdarah, seperti zaman gladiator Romawi kuno.

Bedanya, bukan singa yang menelan korban, melainkan pagar beton dan ambisi elite.

Sumenep sedang diuji. Bukan hanya dalam membangun infrastruktur. Tapi dalam membangun empati dan akal sehat.
Semoga setelah ini, yang kita dengar bukan lagi dentuman karapan, melainkan suara hati nurani.