Pemkab Sumenep, Melalui Event dan UMKM Sukses Tekan Angka Kemiskinan Sampai 6,23%

Oleh: I Nyoman Sudirman

Kemiskinan, di mana pun berada, selalu menjadi kata yang menakutkan. Ia bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang wajah-wajah nelangsa yang setiap hari harus bergelut dengan keterbatasan. Di Kabupaten Sumenep, kata itu terdengar seperti kabar buruk yang ingin segera disingkirkan. Namun, kenyataannya, sebagaimana kejahatan yang tak pernah benar-benar hilang, kemiskinan tetap ada, membandel, dan terus menuntut solusi nyata.

Pemerintah bisa saja mengucapkan kata “pengentasan” dengan penuh semangat, tetapi praktiknya tidak sesederhana jargon. Menghapus kemiskinan ibarat membersihkan noda pekat di kain putih—semakin keras digosok, terkadang malah menimbulkan sobekan baru. Berbagai strategi telah dicoba: dari yang instan dan populis, hingga yang membutuhkan biaya besar, tenaga, dan pikiran. Meski hasilnya terlihat, masalah ini tetap tak kunjung tuntas.

Bupati Sumenep, Achmad Fauzi, tampaknya paham betul bahwa kemiskinan bukan sekadar angka dalam laporan statistik. Karena itu, ia menempatkan isu ini di garda depan agenda pembangunan. Dari sana lahirlah berbagai gagasan, termasuk mengandalkan event dan sektor UMKM sebagai jalan keluar.

Mengapa UMKM? Setidaknya ada dua alasan mendasar. Pertama, sektor ini terbukti mampu menggerakkan roda perekonomian dari bawah. Kedua, UMKM melibatkan masyarakat secara langsung—memberi mereka ruang untuk berproduksi, berkreasi, dan menghidupi keluarga tanpa harus bergantung pada bantuan semata. Dengan logika sederhana: jika UMKM tumbuh, pengangguran berkurang; jika pengangguran berkurang, kemiskinan perlahan tertekan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) justru memperkuat klaim ini. Berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, industri pengolahan—yang banyak digerakkan oleh UMKM—mampu menekan angka kemiskinan hingga 6,23%. Angka ini lebih rendah dibandingkan sektor lain. Artinya, UMKM bukan sekadar jargon pembangunan, tetapi benar-benar memberi kontribusi nyata.

Penurunan angka kemiskinan di Sumenep juga menunjukkan sinyal positif. Dari 18,70% pada 2023 turun menjadi 17,78% pada 2024. Mungkin persentase itu terlihat kecil, namun dalam konteks ribuan warga miskin, setiap persen adalah nyawa, adalah harapan baru. Tak berlebihan jika keberhasilan itu dikaitkan dengan geliat UMKM yang semakin masif lewat berbagai event yang digelar pemerintah daerah.

Namun, di titik ini kita juga patut berhati-hati. Mengandalkan event semata tanpa fondasi kuat ibarat membangun rumah di atas pasir. Event memang mampu menciptakan pasar sesaat, tapi yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah memastikan UMKM punya daya tahan: akses permodalan yang mudah, pelatihan keterampilan, digitalisasi pemasaran, hingga distribusi yang adil. Tanpa itu semua, geliat UMKM hanya akan menjadi pesta sesaat yang meredup setelah lampu panggung dimatikan.

Karenanya, strategi Pemkab Sumenep perlu lebih dari sekadar mengadakan event. Pemerintah harus berani menggarap akar persoalan: membuka akses yang lebih luas ke pasar, menekan praktik rente, dan menyiapkan infrastruktur yang berpihak pada pelaku kecil. Hanya dengan cara itu, UMKM bisa menjadi mesin penggerak yang konsisten, bukan sekadar simbol pengentasan kemiskinan.

Sumenep memang sudah menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan. Tetapi pertanyaannya: apakah penurunan itu benar-benar berkelanjutan, atau hanya hasil sesaat dari kebijakan populis? Jawabannya akan ditentukan oleh keberanian pemerintah menjaga keberlanjutan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi rakyat.

Mengentaskan kemiskinan bukan sekadar tugas moral, tetapi juga ujian kepemimpinan. Dan di Sumenep, sejarah akan mencatat: apakah UMKM benar-benar menjadi jalan keluar, atau hanya sekadar jargon pembangunan yang terdengar manis, namun tak bertahan lama

Yuk Share

Berita Lainnya