
Trending
Rumah tempat singgah kita, kini mulai sunyi. Nahkodanya entah ke mana, hilang tanpa jejak. Kini, para penumpang beradu nasib di daratan, terombang-ambing oleh gejolak yang bergemuruh. Pagar rumah yang tak pernah tertutup 24 jam itu kini hanya menunggu, berharap nahkoda akan kembali, meski jejaknya pun tak pernah terlihat. Penumpang kehilangan arah, tak tahu ke mana lagi harus melangkah.
Satu per satu awak kapal (ABK) mulai tumbang, entah karena kehilangan sosok nahkoda atau alasan lain yang tak jelas. Sang penulis pun tak tahu pasti, namun yang ia rasakan, kami masih dalam kegelapan. Cahaya retorika literasi yang akan menuntun rute perjalanan kapal seolah menghilang, tertelan oleh pekatnya malam yang tak kunjung memberi jawab. Peta perjalanan tak lagi jelas, seolah-olah setiap langkah yang diambil hanya semakin memperdalam jurang kebingungan.
Sementara kapal terus terapung di lautan ketidakpastian, para penumpang mulai cemas, beberapa di antaranya berbisik-bisik dengan nada penuh kekhawatiran. Mereka melihat bahwa kapal ini tidak lagi stabil, banyak kebocoran di sana-sini, tapi tak ada tangan yang sigap untuk menambal kerusakan. Harapan yang dulu menyala terang kini hanya tinggal nyala lilin yang ditiup angin badai, goyah dan hampir padam.
Di sudut kapal, beberapa awak yang tersisa mulai berdiskusi dalam hening. Mereka bertanya-tanya, apakah perlu menggantikan nahkoda yang hilang? Ataukah mereka harus menunggu lebih lama, berharap sang nahkoda akan kembali membawa jawaban atas ketidakpastian ini? Namun, waktu terus berjalan, dan setiap detik terasa seperti beban tambahan yang mengancam menghancurkan kapal ini dari dalam.
Terlintas di telinga perkataan salah satu ABK, Hendri Damiri: “Lapor ketua, penumpang mulai bertambah sementara kapal kita masih belum sempat ditambal.” Laporan ini adalah sebuah peringatan keras. Penumpang yang terus bertambah sementara kapal tak lagi mampu menahan beban, menjadi ancaman nyata. Kapal ini seolah hanya menunggu waktu sebelum benar-benar tenggelam. Situasi yang semakin genting, tapi tidak ada pemimpin yang mengambil kendali. Nahkoda hilang, dan tanpa arahan, kapal semakin terbawa arus yang liar.
Namun, meskipun gelap, meskipun tanpa arah, sebagian dari kami masih percaya bahwa selalu ada jalan keluar. Mungkin bukan melalui nahkoda yang hilang, tapi melalui kekuatan kolektif para awak dan penumpang yang mau bersatu. Mungkin kegelapan yang menyelimuti ini adalah panggilan untuk kita mencari terang bersama, membangun kembali kapal yang rusak ini, dan melanjutkan perjalanan dengan semangat yang baru.
Di tengah ketidakpastian, kita hanya bisa berharap. Harapan itu mungkin tipis, tapi ia tetap ada. Dan selama harapan itu masih menyala, sekecil apa pun, kita tahu bahwa pelayaran ini belum berakhir. Sebuah perjalanan baru menunggu di depan, hanya saja, kita belum tahu arah mana yang harus dituju.
Penulis : Ari Irawan (Mahasiswa UNIBA MADURA)